Minggu, 22 Mei 2011
Tentang Paguyuban Masyarakat Tanpa Partai (PMTP)
Indonesia tidak lahir dari tanah. Darahnya tidak mengalir dari mata air di kaki gunung. Rohnya tidak ditiup oleh Sang Pencipta di atas sana. Dan seluruh takdirnya di masa lalu, kini, dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia adalah anak sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda kala yang mengandung dan yang membesarkannya.
Sebuah ikatan yang membentuk wajah dan watak Indonesia yang penuh dinamika dan diwarnai oleh ambivalensi. Ikatan itu cenderung dipengaruhi oleh keterikatan persaudaraan, keterikatan lingkungan, keterikatan kedaerahan yang dalam bahasa rakyat disebut Paguyuban.
Paguyuban sering diartikan sebagai ikatan kekerabatan tanpa kepentingan politik & kepentingan ekonomi. Karena dasar dari paguyuban adalah solidaritas atau gotong-royong.
Saat partai2 politik gagal mengemban aspirasi kaum melarat, maka partai2 politik itu pada hakekatnya tak lagi memiliki akar rumput yang solid sbg basis pendukungnya, dan itu berarti partai politik itu sedang menuju kebinasaannya.
Kita ada diluar sistem, sebagian dari kita bukan hanya kecewa, tapi mungkin sdh muak dgn akrobat2 tingkah para politisi dan partai politik yang ada.
Maka disinilah kita, suatu komunitas tanpa sekat2 idiologi, tanpa sekat2 suku, agama, ras, aliran & tanpa sekat2 kepentingan, tapi tetap dapat berbuat sesuatu demi Indonesia yang lebih baik.
"Jangan sampai kita terjebak pada arena yang dihuni para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikit pun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya. Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban "cahaya" dari kegelapan keangkuhan spiritualnya".
Salam Juang!
Sistem NKRI Pasca Reformasi
Sistem NKRI Pasca Reformasi
Secara umum Sistem adalah Serangkian metoda, prosedur, atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk satu kesatuan yang terpadu (Enid Squire). Sistem menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Berdasarkan definisi sistem yang disebutkan sebelumnya, maka negara sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh suatu masyarakat atau bangsa untuk mengelola kehidupannya dapat dikategorikan sebagai suatu rangkaian system, karena di dalamnya meliputi berbagai elemen yang saling terkait satu sama lain, adapun disiplin ilmu yang khusus mempelajari tentang seluk beluk negara sebagai sistem kemudian dikenal dengan Ilmu Tatanegara.
Secara umum, sistem ketatanegaraan dari sebuah negara dapat diketahui dan dideteksi dari Konstitusi (UUD) Negara tersebut, dari konstitusi tersebutlah maka dapat diketahui alur mekanisme kerja setiap lembaga dalam negara tersebut dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Adapun untuk NKRI, sistem ketatanegaraannya dapat diketahui dari UUD’45 yang memuat landasan dan cita-cita Bangsa Indonesia serta mengatur peran dan fungsi setiap lembaga dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sistem NKRI Pasca Reformasi
Guliran reformasi 1998 telah membawa angin perubahan yang terasa kencang menerjang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hasrat perubahan yang kian memuncak telah mengantarkan rakyat Indonesia kedalam periode penting dalam sejarah kehidupannya, yaitu suatu periode dimana hawa kebebasan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan rakyat.
Tuntutan kebebasan yang menjadi ide utama reformasi kemudian dituangkan kedalam Agenda Reformasi yang berisi diantaranya pelaksanaan pemilu dan Amandemen UUD 1945. Pemilu untuk memilih anggota DPR/MPR, DPRD I, dan DPRD II baru terlaksana satu tahun kemudian tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 Partai dengan legitimasi UU No 2 tahun 1999 dan UU No 3 tahun 1999. Pelaksanaan Pemilu tersebut berdasarkan UU No 4 tahun 1999 telah membentuk MPR. MPR hasil pemilu dalam sidangnya kemudian memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai Wakil Presiden, dimasa inilah amandemen UUD’45 mulai digulirkan dengan terlebih dahulu mencabut Tap MPR No IV tahun 1983 tentang Referendum, sehingga proses amandemen UUD pun dapat dilakukan hanya dengan mekanisme pasal 37 UUD’45. Proses tersebut berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2002 dan menghasilkan empat kali perubahan.
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR periode 1999 s/d 2004 tidak dapat dipungkiri telah merubah secara radikal system ketatanegaraan NKRI. Perubahan mendasar terhadap UUD 1945 dan paling terasa dampaknya yaitu diubahnya klausul pasal 1 ayat 2 yang semula berbunyi kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Perubahan terhadap pasal ini bertujuan untuk mengurangi peran MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Berkurangnya peran MPR tersebut juga diperkuat dengan dirubahnya pasal 3 UUD1945 sehingga MPR tidak lagi dapat memberi mandat kepada presiden berupa UUD dan GBHN. Akibat perubahan ini akhirnya posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan sejajar dengan lembaga Negara lainnya, seperti presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA).
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sebelum dilakukannya perubahan atas UUD 1945, MPR memiliki peranan yang sangat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menurut beberapa tinjauan sangat mendominasi system ketatanegaraan kita.
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 2002, Kedaulatan Rakyat merupakan input mula dari penjalanan sistem kehidupan NKRI. Kedaulatan rakyat yang di dalam bingkai demokrasi ialah melibatkan rakyat dalam memilih wakil-wakil rakyat di dalam pemilihan umum, menegaskan bahwa DPR dan DPD merupakan representative rakyat, artinya kedudukan DPR dan DPD sebagai komposisi MPR akan berperan sebagai proses pertama dalam sistem NKRI. Tetapi jika dicermati lagi, peserta pemilu adalah partai politik, serta perorangan yang juga harus berafiliasi dengan organisasi-organisasi yang pasti memiliki kepentingan, maka sebetulnya input mula dari sistem NKRI ialah kepentingan/gabungan kepentingan dari parpol atau ormas tertentu.
Sehingga karena anggota-anggota DPR dan DPD yang terpilih merupakan perwakilan partai/golongan tertentu, maka intervensi kepentingan parpol/golongan tertentu tersebut sangat besar dalam menentukan UUD sebagai aturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dikaji dari runtutan setelah adanya gerakan reformasi yang salah satu tuntutannya yaitu amandemen UUD’45, semua program reformasi yang sarat akan kepentingan tersebut masuk ke dalam klausul-klausul dalam UUD. Sehingga pada akhirnya, UUD dipergunakan untuk mengawal kepentingan orang-orang/kelompok tertentu.
UUD sebagai ketetapan MPR merupakan output pertama, serta menjadi input untuk diproses oleh Presiden bersama-sama DPR memproses UUD sebagai dasar di bangunnya Peraturan dan perundang-undangan dan produk hukum turunannya, seperti peraturan pemerintah yang kemudian menjadi acuan di bangunnya peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi menggunakan UUD tersebut sebagai pedoman penjalanan peran masing-masing lembaga dalam melakukan kekuasaan kehakiman.
Undang-undang dan peraturan yang berada dibawahnya sebagai output, kemudian akan mengatur bagaimana rakyat harus diperankan. Berarti dalam hal ini, rakyat hanya berperan sebagai end user dari setiap kebijakan pemerintah. Jika kita tinjau bahwa input mulanya ialah kepentingan orang-orang/kelompok tertentu yang bisa berkamuflase dalam bentuk parpol/ormas, maka dapat dipastikan bahwa kedudukan rakyat bukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi parpol/kelompok tertentu. Sehingga, aktifitas rakyat akan dikaji ulang terhadap berjalan atau tidak kepentingan elit.
Rendra Kharisma Harahap
Secara umum Sistem adalah Serangkian metoda, prosedur, atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk satu kesatuan yang terpadu (Enid Squire). Sistem menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Berdasarkan definisi sistem yang disebutkan sebelumnya, maka negara sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh suatu masyarakat atau bangsa untuk mengelola kehidupannya dapat dikategorikan sebagai suatu rangkaian system, karena di dalamnya meliputi berbagai elemen yang saling terkait satu sama lain, adapun disiplin ilmu yang khusus mempelajari tentang seluk beluk negara sebagai sistem kemudian dikenal dengan Ilmu Tatanegara.
Secara umum, sistem ketatanegaraan dari sebuah negara dapat diketahui dan dideteksi dari Konstitusi (UUD) Negara tersebut, dari konstitusi tersebutlah maka dapat diketahui alur mekanisme kerja setiap lembaga dalam negara tersebut dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Adapun untuk NKRI, sistem ketatanegaraannya dapat diketahui dari UUD’45 yang memuat landasan dan cita-cita Bangsa Indonesia serta mengatur peran dan fungsi setiap lembaga dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sistem NKRI Pasca Reformasi
Guliran reformasi 1998 telah membawa angin perubahan yang terasa kencang menerjang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hasrat perubahan yang kian memuncak telah mengantarkan rakyat Indonesia kedalam periode penting dalam sejarah kehidupannya, yaitu suatu periode dimana hawa kebebasan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan rakyat.
Tuntutan kebebasan yang menjadi ide utama reformasi kemudian dituangkan kedalam Agenda Reformasi yang berisi diantaranya pelaksanaan pemilu dan Amandemen UUD 1945. Pemilu untuk memilih anggota DPR/MPR, DPRD I, dan DPRD II baru terlaksana satu tahun kemudian tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 Partai dengan legitimasi UU No 2 tahun 1999 dan UU No 3 tahun 1999. Pelaksanaan Pemilu tersebut berdasarkan UU No 4 tahun 1999 telah membentuk MPR. MPR hasil pemilu dalam sidangnya kemudian memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai Wakil Presiden, dimasa inilah amandemen UUD’45 mulai digulirkan dengan terlebih dahulu mencabut Tap MPR No IV tahun 1983 tentang Referendum, sehingga proses amandemen UUD pun dapat dilakukan hanya dengan mekanisme pasal 37 UUD’45. Proses tersebut berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2002 dan menghasilkan empat kali perubahan.
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR periode 1999 s/d 2004 tidak dapat dipungkiri telah merubah secara radikal system ketatanegaraan NKRI. Perubahan mendasar terhadap UUD 1945 dan paling terasa dampaknya yaitu diubahnya klausul pasal 1 ayat 2 yang semula berbunyi kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Perubahan terhadap pasal ini bertujuan untuk mengurangi peran MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Berkurangnya peran MPR tersebut juga diperkuat dengan dirubahnya pasal 3 UUD1945 sehingga MPR tidak lagi dapat memberi mandat kepada presiden berupa UUD dan GBHN. Akibat perubahan ini akhirnya posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan sejajar dengan lembaga Negara lainnya, seperti presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA).
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sebelum dilakukannya perubahan atas UUD 1945, MPR memiliki peranan yang sangat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menurut beberapa tinjauan sangat mendominasi system ketatanegaraan kita.
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 2002, Kedaulatan Rakyat merupakan input mula dari penjalanan sistem kehidupan NKRI. Kedaulatan rakyat yang di dalam bingkai demokrasi ialah melibatkan rakyat dalam memilih wakil-wakil rakyat di dalam pemilihan umum, menegaskan bahwa DPR dan DPD merupakan representative rakyat, artinya kedudukan DPR dan DPD sebagai komposisi MPR akan berperan sebagai proses pertama dalam sistem NKRI. Tetapi jika dicermati lagi, peserta pemilu adalah partai politik, serta perorangan yang juga harus berafiliasi dengan organisasi-organisasi yang pasti memiliki kepentingan, maka sebetulnya input mula dari sistem NKRI ialah kepentingan/gabungan kepentingan dari parpol atau ormas tertentu.
Sehingga karena anggota-anggota DPR dan DPD yang terpilih merupakan perwakilan partai/golongan tertentu, maka intervensi kepentingan parpol/golongan tertentu tersebut sangat besar dalam menentukan UUD sebagai aturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dikaji dari runtutan setelah adanya gerakan reformasi yang salah satu tuntutannya yaitu amandemen UUD’45, semua program reformasi yang sarat akan kepentingan tersebut masuk ke dalam klausul-klausul dalam UUD. Sehingga pada akhirnya, UUD dipergunakan untuk mengawal kepentingan orang-orang/kelompok tertentu.
UUD sebagai ketetapan MPR merupakan output pertama, serta menjadi input untuk diproses oleh Presiden bersama-sama DPR memproses UUD sebagai dasar di bangunnya Peraturan dan perundang-undangan dan produk hukum turunannya, seperti peraturan pemerintah yang kemudian menjadi acuan di bangunnya peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi menggunakan UUD tersebut sebagai pedoman penjalanan peran masing-masing lembaga dalam melakukan kekuasaan kehakiman.
Undang-undang dan peraturan yang berada dibawahnya sebagai output, kemudian akan mengatur bagaimana rakyat harus diperankan. Berarti dalam hal ini, rakyat hanya berperan sebagai end user dari setiap kebijakan pemerintah. Jika kita tinjau bahwa input mulanya ialah kepentingan orang-orang/kelompok tertentu yang bisa berkamuflase dalam bentuk parpol/ormas, maka dapat dipastikan bahwa kedudukan rakyat bukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi parpol/kelompok tertentu. Sehingga, aktifitas rakyat akan dikaji ulang terhadap berjalan atau tidak kepentingan elit.
Rendra Kharisma Harahap
Belajar Memahami Kembali Pancasila Kita
(Abstrak)
1. Iklim keterbukaan yang dibawa oleh Reformasi telah membuat bangsa Indonesia sangat kaya dengan informasi, tetapi kekayaan akan informasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya kekayaan pikiran. Justru sebaliknya, luberan informasi ini direspons dengan kemiskinan pikiran bangsa Indonesia yang tercermin dalam pemikiran kalangan elitnya. Filsafat seharusnya dapat memberikan sumbangannya yang berarti untuk mengintegrasikan luberan informasi yang berhamburan tersebut dengan perekat filosofisnya menjadi fakta yang dapat dipahami.
2. Krisis pemahaman tentang Pancasila adalah krisis pemahaman bangsa Indonesia terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungannya. Tesis Ernst Cassirer dalam bukunya An Essay On Man tentang hubungan dialektis antara introvert view dan extrovert view dalam proses penyadaran diri dapat dipergunakan di sini. Kegagalan bangsa Indonesia untuk melihatglobalisme dan globalisasi sebagai bentuk baru kapitalisme (sebagai tingkatan yang lebih tinggi dari imperialisme), adalah akar krisis pemahamannya terhadap lingkungan dan terhadap diri sendiri.
3. Mistifikasi Pancasila yang dilakukan oleh Orde Baru menambah parah krisis pemahaman bangsa Indonesia terhadap Pancasila. Tesis Peter Berger tentang the social construction of reality dan bagan tiga tahap van Peursen tentang perkembangan kebudayaan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memeriksa pengaruh mistifikasi Pancasila dalam kesadaran bangsa Indonesia.
4. Bagaimana prospek Pancasila dalam pertarungan ideologi dunia ke depan? Alvin Toffler dalam bukunya The Power Shift mengajukan tesis tentang bangunan kekuasaan yang sedang berubah ke arah bangunan kekuasaan yang diintegrasikan oleh the power of knowledge. Tesis Alvin Tofller ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi bagaimana supaya kita dapat mengoperasikan Pancasila di tengah-tengah perubahan dunia.
5. Belajar Memahami Kembali Pancasila Kita adalah proyek atau ajakan untuk mempelajari Pancasila, dasar negara Republik Indonesia, secara mendalam dengan semua implikasinya di tengah-tengah badai neoliberalisme sekarang ini. Tujuannya adalah untuk meneguhkan kembali konsensus dasar didirikannya negara dan memperkuat kembali posisi Pancasila sebagai universum simbolis bangsa Indonesia, agar Pancasila sebagai dasar negara secara efektif dioperasikan.
Morronisme Morron
1. Iklim keterbukaan yang dibawa oleh Reformasi telah membuat bangsa Indonesia sangat kaya dengan informasi, tetapi kekayaan akan informasi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya kekayaan pikiran. Justru sebaliknya, luberan informasi ini direspons dengan kemiskinan pikiran bangsa Indonesia yang tercermin dalam pemikiran kalangan elitnya. Filsafat seharusnya dapat memberikan sumbangannya yang berarti untuk mengintegrasikan luberan informasi yang berhamburan tersebut dengan perekat filosofisnya menjadi fakta yang dapat dipahami.
2. Krisis pemahaman tentang Pancasila adalah krisis pemahaman bangsa Indonesia terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungannya. Tesis Ernst Cassirer dalam bukunya An Essay On Man tentang hubungan dialektis antara introvert view dan extrovert view dalam proses penyadaran diri dapat dipergunakan di sini. Kegagalan bangsa Indonesia untuk melihatglobalisme dan globalisasi sebagai bentuk baru kapitalisme (sebagai tingkatan yang lebih tinggi dari imperialisme), adalah akar krisis pemahamannya terhadap lingkungan dan terhadap diri sendiri.
3. Mistifikasi Pancasila yang dilakukan oleh Orde Baru menambah parah krisis pemahaman bangsa Indonesia terhadap Pancasila. Tesis Peter Berger tentang the social construction of reality dan bagan tiga tahap van Peursen tentang perkembangan kebudayaan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memeriksa pengaruh mistifikasi Pancasila dalam kesadaran bangsa Indonesia.
4. Bagaimana prospek Pancasila dalam pertarungan ideologi dunia ke depan? Alvin Toffler dalam bukunya The Power Shift mengajukan tesis tentang bangunan kekuasaan yang sedang berubah ke arah bangunan kekuasaan yang diintegrasikan oleh the power of knowledge. Tesis Alvin Tofller ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi bagaimana supaya kita dapat mengoperasikan Pancasila di tengah-tengah perubahan dunia.
5. Belajar Memahami Kembali Pancasila Kita adalah proyek atau ajakan untuk mempelajari Pancasila, dasar negara Republik Indonesia, secara mendalam dengan semua implikasinya di tengah-tengah badai neoliberalisme sekarang ini. Tujuannya adalah untuk meneguhkan kembali konsensus dasar didirikannya negara dan memperkuat kembali posisi Pancasila sebagai universum simbolis bangsa Indonesia, agar Pancasila sebagai dasar negara secara efektif dioperasikan.
Morronisme Morron
UUD’45 : PENGEJAWANTAHAN PANCASILA, SARANA MEREALISASKAN SIFAT BANGSA INDONESIA
MUKADDIMAH
Berdasarkan sejarah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari bangsa Inonesia yang lahir dan merdeka terlebih dahulu. Bangsa Indonesia lahir melalui momen Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan membawa sifat yaitu komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi.
Sifat bangsa tersebut kemudian menjadi dasar perjuangan kebangsaan di dalam merebut kemerdekaan bangsa yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dibentuknya negara pada tanggal 18 Agustus 1945 yang diindikasikan dengan disahkannya Konstitusi (UUD’45) sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta diangkatnya presiden dan wakil presiden RI pertama. Sehingga, NKRI memiliki pola hubungan bangsa membentuk negara, atau dengan kata lain bangsa Indonesia adalah fondasi dari bangunan NKRI.
Sebelum kemerdekaan bangsa diproklamirkan, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), telah menetapkan Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka. Maknanya bahwa Pancasila merupakan sarana untuk menegakan sifat bangsa Indonesia. Sehingga dibentuknya negara pun pada akhirnya merupakan usaha bangsa Indonesia di dalam merealisasikan sifat bangsa dengan mengaplikasikan Pancasila melalui UUD’45.
KANDUNGAN
Lahirnya Bangsa Indonesia, kemerdekaan bangsa Indonesia, dan dibentuknya NKRI, didasarkan atas kehendak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat Bangsa Indonesia. Sehingga, oleh karena bangsa Indonesia adalah fondasi dari bangunan NKRI, maka kuat atau tidaknya bangunan NKRI akan ditentukan oleh kokoh atau tidaknya bangsa Indonesia sebagai fondasi.
Bangsa Indonesia sebagai fondasi akan kokoh pada saat harkat dan martabat hidup kaum pribumi yang kemudian dikenal dengan kedaulatan rakyat sebagai sifat bangsa Indonesia mampu ditegakkan. Tegaknya sifat bangsa diindikasikan oleh pada saat mana rakyat diposisikan dalam membuat aturan dasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka yang merupakan sarana untuk menegakan sifat bangsa Indonesia telah menjiwai UUD’45 sebagai aturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sehingga UUD’45 merupakan koridor NKRI dalam upaya mewujudkan tegaknya harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
Sebagaimana diuraikan di dalam Preambule UUD alinea ke-IV, pemerintah Republik Indonesia memiliki kewajiban untuk : “melindungi segenap bangsa Indonesia; melindungi seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian, negara dalam menjalankan kewajibannya tersebut, diatur di dalam batang tubuh UUD.
UUD’45 yang terdiri dari Preambule (Pembukaan) dan Batang Tubuh tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Preambule (Pembukaan) mengandung tujuan bangsa dan negara, sedangkan Batang Tubuh mengatur peran dan fungsi, pola hubungan kerja antara lembaga, baik lembaga bangsa maupun lembaga negara, serta kedudukan warga negara dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur.
Berdasarkan Preambule UUD’45 alinea ke-IV “…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila”. Kedaulatan rakyat merupakan pengalih bahasaan dari sifat bangsa Indonesia yaitu Komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi. Oleh karena itu di dalam penjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan sangat membutuhkan keberadaaan lembaga bangsa yang berfungsi untuk menegakan kedaulatan rakyat (sifat bangsa).
Keberadaan lembaga bangsa itu kemudian ditegaskan di dalam batang tubuh pasal 1 ayat 2 UUD’45 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sehingga, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berperan sebagai lembaga bangsa yang merupakan perwujudan rakyat dan jaminan berjalannya musyawarah-mufakat seluas-luasnya sebagai indikasi tegaknya kedaulatan rakyat diseluruh wilayah NKRI, serta pemberi mandat kepada lembaga negara. Pada akhirnya kinerja lembaga negara di dalam menyusun, merumuskan dan membuat kebijakan akan memposisikan rakyat, sehingga rakyat mampu mengontrol kinerja lembaga-lembaga negara. Maknanya, keberadaan UUD’45 melegitimasi berjalannya Musyawarah-mufakat sebagai metode membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dan adanya MPR sebagai lembaga bangsa yang menegakan kedaulatan rakyat.
Akan tetapi, realita kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkembang dewasa ini, mengindikasikan bahwa kesadaran, pemahaman wawasan kebangsaan anak bangsa telah mulai terkikis dan hampir hilang. Potensi disintegrasi bangsa dapat terlihat pada setiap reaksi atas fenomena yang tidak didasarkan atas pemahaman kebangsaan yang benar dan menyebabkan semakin kuatnya sentimen kedaerahan (baik dalam bentuk konflik suku, agama, maupun ras).
Selain itu, paradigma Otonomi daerah yang cenderung salah kaprah, hanya digunakan sebagai sarana perebutan kekuasaan akibat dari ketidakpuasan elit di daerah terhadap elit di pusat. Pada akhirnya kesemua fenomena tersebut harus menjadi evaluasi keras pemerintah Republik Indonesia di dalam menjalankan kewajibannya yang terurai di dalam Preambule UUD.
Usaha mengganti UUD’45 sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang berorientasi pada tegaknya kedaulatan rakyat, telah terjadi beberapa kali. Sejak disahkannya UUD’45 yang mengindikasikan RI terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD’45 tersebut tidak pernah dijalankan. Tidak diakuinya 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Belanda di indikasikan dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada tanggal 27 Desember 1949 menghasilkan UUD RIS, sehingga UUD RIS tersebut mengggantikan UUD’45.
Ditolaknya UUD RIS pada saat kedatangannya ke Indonesia oleh para pemuda, seharusnya menjadi momen untuk memberlakukan kembali UUD’45. Tetapi penolakan para pemuda tersebut berujung pada ditawarkannya UUD Sementara (UUD S’50) sebagai pengganti UUD RIS. UUD S’50 ternyata memiliki kesamaan dengan UUD RIS, yaitu : Tidak diakuinya kemerdekaan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945; RI sebagai bagian dari Hinda-Belanda terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945; dan Melegitimasi Demokrasi (Voting System) sebagai metoda membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sejak tahun 1950, Indonesia menggunakan UUD S’50 sebagai aturan dasarnya.
UUD S’50 melegitimasi pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 dan menghasilkan Dewan Konstituante yang bertugas untuk membentuk UUD yang baru sebagai pengganti UUDS’50. Tidak berjalannya kinerja Dewan Konstituante selama masa hampir 4 tahun yang disebabkan oleh perpecahan akibat kepentingan politik masing-masing golongan, berpotensi mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa. Akhirnya sebagai usaha menyelamatkan kehidupan bangsa, pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang berisi : Bubarkan Dewan Konstituante; UUD’45 berlaku kembali; dan Bentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Tetapi sejak diberlakukannya kembali UUD’45, ternyata juga tidak mampu untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sejak periode 1959-1970, MPR sebagai lembaga bangsa tidak pernah terbentuk oleh karena banyaknya gangguan baik internal maupun internasional terhadap bangsa Indonesia. Sehingga Soeharto yang pada tahun 1968 menjadi Pejabat Presiden, menjalankan pemilu pertama pada masanya yaitu pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1972, 17 Agustus sebagai HUT Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia (HUT PKBI) dinyatakan sebagai HUT RI. Maknanya, Soeharto pada masa kepemimpinannya kembali menggunakan UUD S’50.
Pasca digulirkannya reformasi 1998, yang salah satu agendanya ialah amandemen UUD’45, berdampak pada perubahan secara fundamental sistem NKRI. Salah satu indikasi utamanya ialah menghilangkan keberadaan lembaga bangsa yang berfungsi menjalankan kedaulatan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat menjadi sesuatu hal yang semu dan hanya sekedar wacana kampanye politik. Jadi, pengamandemenan UUD’45 menghilangkan susbstansi UUD’45, maknanya keberadaan UUD’45 tidak pernah diamandemen (disempurnakan), tetapi diganti dengan UUD baru, yang disebut dengan UUD 2002 dan melegitimasi proses demokrasi (voting system) sebagai metoda dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara seperti juga yang di amanatkan di dalam UUD S’50.
Dengan beberapa indikasi tersebut, semakin menegaskan bahwa UUD’45 yang merupakan pengejawantahan dari Pancasila belum pernah dijalankan. Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini tidak pernah mengarah pada usaha pengangkatan harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
PENUTUP
Bangsa Indonesia sebagai fondasi dari bangunan NKRI akan kokoh pada saat harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia ditegakkan. UUD’45 yang merupakan pengejawantahan dari Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka, akan berfungsi sebagai koridor NKRI dalam mewujudkan tegaknya sifat Bangsa Indonesia. Akan tetapi, sejak dari disahkannya sampai dengan sebelum guliran reformasi, UUD’45 ternyata belum pernah mampu dijalankan.
Usaha-usaha untuk mengganti UUD’45 telah terjadi sejak UUD’45 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal tersebut dapat di lihat dengan adanya beberapa konstitusi yang ditujukan untuk mengganti UUD’45, seperti UUD RIS’49 dan UUDS’50. Pasca reformasi, telah terjadi beberapa kali pengamandemenan UUD’45, sejak amandemen pertama pada tahun 1999, sampai dengan amandemen ke empat pada tahun 2002.
Empat kali pengamandemenan UUD’45, ternyata merubah substansi dari UUD’45 yang asli. Sehingga, hal tersebut berdampak pada tidak pernah terbangunnya MPR sebagai lembaga bangsa yang menjamin berjalannya proses musyawarah-mufakat seluas-luasnya sebagai cerminan tegaknya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, kembali ke UUD’45 dan menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia guna tegaknya harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
Eddy Tresna
Berdasarkan sejarah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari bangsa Inonesia yang lahir dan merdeka terlebih dahulu. Bangsa Indonesia lahir melalui momen Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan membawa sifat yaitu komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi.
Sifat bangsa tersebut kemudian menjadi dasar perjuangan kebangsaan di dalam merebut kemerdekaan bangsa yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dibentuknya negara pada tanggal 18 Agustus 1945 yang diindikasikan dengan disahkannya Konstitusi (UUD’45) sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta diangkatnya presiden dan wakil presiden RI pertama. Sehingga, NKRI memiliki pola hubungan bangsa membentuk negara, atau dengan kata lain bangsa Indonesia adalah fondasi dari bangunan NKRI.
Sebelum kemerdekaan bangsa diproklamirkan, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), telah menetapkan Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka. Maknanya bahwa Pancasila merupakan sarana untuk menegakan sifat bangsa Indonesia. Sehingga dibentuknya negara pun pada akhirnya merupakan usaha bangsa Indonesia di dalam merealisasikan sifat bangsa dengan mengaplikasikan Pancasila melalui UUD’45.
KANDUNGAN
Lahirnya Bangsa Indonesia, kemerdekaan bangsa Indonesia, dan dibentuknya NKRI, didasarkan atas kehendak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat Bangsa Indonesia. Sehingga, oleh karena bangsa Indonesia adalah fondasi dari bangunan NKRI, maka kuat atau tidaknya bangunan NKRI akan ditentukan oleh kokoh atau tidaknya bangsa Indonesia sebagai fondasi.
Bangsa Indonesia sebagai fondasi akan kokoh pada saat harkat dan martabat hidup kaum pribumi yang kemudian dikenal dengan kedaulatan rakyat sebagai sifat bangsa Indonesia mampu ditegakkan. Tegaknya sifat bangsa diindikasikan oleh pada saat mana rakyat diposisikan dalam membuat aturan dasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka yang merupakan sarana untuk menegakan sifat bangsa Indonesia telah menjiwai UUD’45 sebagai aturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sehingga UUD’45 merupakan koridor NKRI dalam upaya mewujudkan tegaknya harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
Sebagaimana diuraikan di dalam Preambule UUD alinea ke-IV, pemerintah Republik Indonesia memiliki kewajiban untuk : “melindungi segenap bangsa Indonesia; melindungi seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian, negara dalam menjalankan kewajibannya tersebut, diatur di dalam batang tubuh UUD.
UUD’45 yang terdiri dari Preambule (Pembukaan) dan Batang Tubuh tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Preambule (Pembukaan) mengandung tujuan bangsa dan negara, sedangkan Batang Tubuh mengatur peran dan fungsi, pola hubungan kerja antara lembaga, baik lembaga bangsa maupun lembaga negara, serta kedudukan warga negara dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur.
Berdasarkan Preambule UUD’45 alinea ke-IV “…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila”. Kedaulatan rakyat merupakan pengalih bahasaan dari sifat bangsa Indonesia yaitu Komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi. Oleh karena itu di dalam penjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan sangat membutuhkan keberadaaan lembaga bangsa yang berfungsi untuk menegakan kedaulatan rakyat (sifat bangsa).
Keberadaan lembaga bangsa itu kemudian ditegaskan di dalam batang tubuh pasal 1 ayat 2 UUD’45 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sehingga, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berperan sebagai lembaga bangsa yang merupakan perwujudan rakyat dan jaminan berjalannya musyawarah-mufakat seluas-luasnya sebagai indikasi tegaknya kedaulatan rakyat diseluruh wilayah NKRI, serta pemberi mandat kepada lembaga negara. Pada akhirnya kinerja lembaga negara di dalam menyusun, merumuskan dan membuat kebijakan akan memposisikan rakyat, sehingga rakyat mampu mengontrol kinerja lembaga-lembaga negara. Maknanya, keberadaan UUD’45 melegitimasi berjalannya Musyawarah-mufakat sebagai metode membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dan adanya MPR sebagai lembaga bangsa yang menegakan kedaulatan rakyat.
Akan tetapi, realita kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkembang dewasa ini, mengindikasikan bahwa kesadaran, pemahaman wawasan kebangsaan anak bangsa telah mulai terkikis dan hampir hilang. Potensi disintegrasi bangsa dapat terlihat pada setiap reaksi atas fenomena yang tidak didasarkan atas pemahaman kebangsaan yang benar dan menyebabkan semakin kuatnya sentimen kedaerahan (baik dalam bentuk konflik suku, agama, maupun ras).
Selain itu, paradigma Otonomi daerah yang cenderung salah kaprah, hanya digunakan sebagai sarana perebutan kekuasaan akibat dari ketidakpuasan elit di daerah terhadap elit di pusat. Pada akhirnya kesemua fenomena tersebut harus menjadi evaluasi keras pemerintah Republik Indonesia di dalam menjalankan kewajibannya yang terurai di dalam Preambule UUD.
Usaha mengganti UUD’45 sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang berorientasi pada tegaknya kedaulatan rakyat, telah terjadi beberapa kali. Sejak disahkannya UUD’45 yang mengindikasikan RI terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD’45 tersebut tidak pernah dijalankan. Tidak diakuinya 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Belanda di indikasikan dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada tanggal 27 Desember 1949 menghasilkan UUD RIS, sehingga UUD RIS tersebut mengggantikan UUD’45.
Ditolaknya UUD RIS pada saat kedatangannya ke Indonesia oleh para pemuda, seharusnya menjadi momen untuk memberlakukan kembali UUD’45. Tetapi penolakan para pemuda tersebut berujung pada ditawarkannya UUD Sementara (UUD S’50) sebagai pengganti UUD RIS. UUD S’50 ternyata memiliki kesamaan dengan UUD RIS, yaitu : Tidak diakuinya kemerdekaan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945; RI sebagai bagian dari Hinda-Belanda terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945; dan Melegitimasi Demokrasi (Voting System) sebagai metoda membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sejak tahun 1950, Indonesia menggunakan UUD S’50 sebagai aturan dasarnya.
UUD S’50 melegitimasi pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 dan menghasilkan Dewan Konstituante yang bertugas untuk membentuk UUD yang baru sebagai pengganti UUDS’50. Tidak berjalannya kinerja Dewan Konstituante selama masa hampir 4 tahun yang disebabkan oleh perpecahan akibat kepentingan politik masing-masing golongan, berpotensi mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa. Akhirnya sebagai usaha menyelamatkan kehidupan bangsa, pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang berisi : Bubarkan Dewan Konstituante; UUD’45 berlaku kembali; dan Bentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Tetapi sejak diberlakukannya kembali UUD’45, ternyata juga tidak mampu untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sejak periode 1959-1970, MPR sebagai lembaga bangsa tidak pernah terbentuk oleh karena banyaknya gangguan baik internal maupun internasional terhadap bangsa Indonesia. Sehingga Soeharto yang pada tahun 1968 menjadi Pejabat Presiden, menjalankan pemilu pertama pada masanya yaitu pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1972, 17 Agustus sebagai HUT Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia (HUT PKBI) dinyatakan sebagai HUT RI. Maknanya, Soeharto pada masa kepemimpinannya kembali menggunakan UUD S’50.
Pasca digulirkannya reformasi 1998, yang salah satu agendanya ialah amandemen UUD’45, berdampak pada perubahan secara fundamental sistem NKRI. Salah satu indikasi utamanya ialah menghilangkan keberadaan lembaga bangsa yang berfungsi menjalankan kedaulatan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat menjadi sesuatu hal yang semu dan hanya sekedar wacana kampanye politik. Jadi, pengamandemenan UUD’45 menghilangkan susbstansi UUD’45, maknanya keberadaan UUD’45 tidak pernah diamandemen (disempurnakan), tetapi diganti dengan UUD baru, yang disebut dengan UUD 2002 dan melegitimasi proses demokrasi (voting system) sebagai metoda dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara seperti juga yang di amanatkan di dalam UUD S’50.
Dengan beberapa indikasi tersebut, semakin menegaskan bahwa UUD’45 yang merupakan pengejawantahan dari Pancasila belum pernah dijalankan. Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini tidak pernah mengarah pada usaha pengangkatan harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
PENUTUP
Bangsa Indonesia sebagai fondasi dari bangunan NKRI akan kokoh pada saat harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia ditegakkan. UUD’45 yang merupakan pengejawantahan dari Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka, akan berfungsi sebagai koridor NKRI dalam mewujudkan tegaknya sifat Bangsa Indonesia. Akan tetapi, sejak dari disahkannya sampai dengan sebelum guliran reformasi, UUD’45 ternyata belum pernah mampu dijalankan.
Usaha-usaha untuk mengganti UUD’45 telah terjadi sejak UUD’45 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal tersebut dapat di lihat dengan adanya beberapa konstitusi yang ditujukan untuk mengganti UUD’45, seperti UUD RIS’49 dan UUDS’50. Pasca reformasi, telah terjadi beberapa kali pengamandemenan UUD’45, sejak amandemen pertama pada tahun 1999, sampai dengan amandemen ke empat pada tahun 2002.
Empat kali pengamandemenan UUD’45, ternyata merubah substansi dari UUD’45 yang asli. Sehingga, hal tersebut berdampak pada tidak pernah terbangunnya MPR sebagai lembaga bangsa yang menjamin berjalannya proses musyawarah-mufakat seluas-luasnya sebagai cerminan tegaknya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, kembali ke UUD’45 dan menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia guna tegaknya harkat dan martabat hidup kaum pribumi sebagai sifat bangsa Indonesia.
Eddy Tresna
Langganan:
Komentar (Atom)