Sistem NKRI Pasca Reformasi
Secara umum Sistem adalah Serangkian metoda, prosedur, atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk satu kesatuan yang terpadu (Enid Squire). Sistem menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Berdasarkan definisi sistem yang disebutkan sebelumnya, maka negara sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh suatu masyarakat atau bangsa untuk mengelola kehidupannya dapat dikategorikan sebagai suatu rangkaian system, karena di dalamnya meliputi berbagai elemen yang saling terkait satu sama lain, adapun disiplin ilmu yang khusus mempelajari tentang seluk beluk negara sebagai sistem kemudian dikenal dengan Ilmu Tatanegara.
Secara umum, sistem ketatanegaraan dari sebuah negara dapat diketahui dan dideteksi dari Konstitusi (UUD) Negara tersebut, dari konstitusi tersebutlah maka dapat diketahui alur mekanisme kerja setiap lembaga dalam negara tersebut dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Adapun untuk NKRI, sistem ketatanegaraannya dapat diketahui dari UUD’45 yang memuat landasan dan cita-cita Bangsa Indonesia serta mengatur peran dan fungsi setiap lembaga dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sistem NKRI Pasca Reformasi
Guliran reformasi 1998 telah membawa angin perubahan yang terasa kencang menerjang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hasrat perubahan yang kian memuncak telah mengantarkan rakyat Indonesia kedalam periode penting dalam sejarah kehidupannya, yaitu suatu periode dimana hawa kebebasan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan rakyat.
Tuntutan kebebasan yang menjadi ide utama reformasi kemudian dituangkan kedalam Agenda Reformasi yang berisi diantaranya pelaksanaan pemilu dan Amandemen UUD 1945. Pemilu untuk memilih anggota DPR/MPR, DPRD I, dan DPRD II baru terlaksana satu tahun kemudian tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 Partai dengan legitimasi UU No 2 tahun 1999 dan UU No 3 tahun 1999. Pelaksanaan Pemilu tersebut berdasarkan UU No 4 tahun 1999 telah membentuk MPR. MPR hasil pemilu dalam sidangnya kemudian memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai Wakil Presiden, dimasa inilah amandemen UUD’45 mulai digulirkan dengan terlebih dahulu mencabut Tap MPR No IV tahun 1983 tentang Referendum, sehingga proses amandemen UUD pun dapat dilakukan hanya dengan mekanisme pasal 37 UUD’45. Proses tersebut berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2002 dan menghasilkan empat kali perubahan.
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR periode 1999 s/d 2004 tidak dapat dipungkiri telah merubah secara radikal system ketatanegaraan NKRI. Perubahan mendasar terhadap UUD 1945 dan paling terasa dampaknya yaitu diubahnya klausul pasal 1 ayat 2 yang semula berbunyi kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Perubahan terhadap pasal ini bertujuan untuk mengurangi peran MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Berkurangnya peran MPR tersebut juga diperkuat dengan dirubahnya pasal 3 UUD1945 sehingga MPR tidak lagi dapat memberi mandat kepada presiden berupa UUD dan GBHN. Akibat perubahan ini akhirnya posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan sejajar dengan lembaga Negara lainnya, seperti presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA).
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sebelum dilakukannya perubahan atas UUD 1945, MPR memiliki peranan yang sangat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menurut beberapa tinjauan sangat mendominasi system ketatanegaraan kita.
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 2002, Kedaulatan Rakyat merupakan input mula dari penjalanan sistem kehidupan NKRI. Kedaulatan rakyat yang di dalam bingkai demokrasi ialah melibatkan rakyat dalam memilih wakil-wakil rakyat di dalam pemilihan umum, menegaskan bahwa DPR dan DPD merupakan representative rakyat, artinya kedudukan DPR dan DPD sebagai komposisi MPR akan berperan sebagai proses pertama dalam sistem NKRI. Tetapi jika dicermati lagi, peserta pemilu adalah partai politik, serta perorangan yang juga harus berafiliasi dengan organisasi-organisasi yang pasti memiliki kepentingan, maka sebetulnya input mula dari sistem NKRI ialah kepentingan/gabungan kepentingan dari parpol atau ormas tertentu.
Sehingga karena anggota-anggota DPR dan DPD yang terpilih merupakan perwakilan partai/golongan tertentu, maka intervensi kepentingan parpol/golongan tertentu tersebut sangat besar dalam menentukan UUD sebagai aturan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat dikaji dari runtutan setelah adanya gerakan reformasi yang salah satu tuntutannya yaitu amandemen UUD’45, semua program reformasi yang sarat akan kepentingan tersebut masuk ke dalam klausul-klausul dalam UUD. Sehingga pada akhirnya, UUD dipergunakan untuk mengawal kepentingan orang-orang/kelompok tertentu.
UUD sebagai ketetapan MPR merupakan output pertama, serta menjadi input untuk diproses oleh Presiden bersama-sama DPR memproses UUD sebagai dasar di bangunnya Peraturan dan perundang-undangan dan produk hukum turunannya, seperti peraturan pemerintah yang kemudian menjadi acuan di bangunnya peraturan daerah oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi menggunakan UUD tersebut sebagai pedoman penjalanan peran masing-masing lembaga dalam melakukan kekuasaan kehakiman.
Undang-undang dan peraturan yang berada dibawahnya sebagai output, kemudian akan mengatur bagaimana rakyat harus diperankan. Berarti dalam hal ini, rakyat hanya berperan sebagai end user dari setiap kebijakan pemerintah. Jika kita tinjau bahwa input mulanya ialah kepentingan orang-orang/kelompok tertentu yang bisa berkamuflase dalam bentuk parpol/ormas, maka dapat dipastikan bahwa kedudukan rakyat bukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi parpol/kelompok tertentu. Sehingga, aktifitas rakyat akan dikaji ulang terhadap berjalan atau tidak kepentingan elit.
Rendra Kharisma Harahap
itu lagi" bermain presepsi ... undang" harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi nya ,, kalau dikatakan kedaulatan di tangan rakyat y harus dikerjakan seperti itu ... kalau anda berpikir rakyat yang dimaksud adalah parpol dan ormas apa bedanya pikiran anda dengan mereka para pejabat yang tidak amanah ... saya ko baca banyak sekali pahamisme orde baru yang ingin berkembang ...
BalasHapus